Hati - Hati dengan Pasar Middle Class Muslim



Tulisan ini saya tujukan khusus untuk Anda yang membidik pasar kelas menengah muslim di Indonesia. Sebagai gambarannya, produk yang dekat dengan mereka diantaranya layanan aqiqah, jasa travel umroh dan haji, fesyen muslim, perumahan syariah, sekolah Islam, lembaga zakat dan sejenisnya serta brand lain yang jaraknya sangat dekat dengan middle class muslim.

Sebab karakter klaster ini memiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh kelas menengah muslim di negara lain termasuk di Malaysia sekalipun. 
Tulisan ini memang sering saya ulas, tetapi sepertinya ada yang belum percaya tentang karakter kelas menengah muslim Indonesia yang punya kekhasan.

Jika brand Anda memang membidik pasar ini maka Anda harus tahu karakter mereka, jika tidak maka brand Anda bukan saja tidak akan dibeli melainkan akan mendapatkan penghakiman yang cukup keras.

Karakter mereka yang paling khas adalah menilai simbol Agama yang melekat pada sebuah brand itu penting. Simbol tak melulu ayat suci, tetapi bisa bentuk lain seperti label halal, konten iklan termasuk endorser yang Anda pakai untuk mewakili brand Anda.

Salah dalam menempatkannya maka siap - siaplah brand Anda akan mendapat sentimen negatif dari klaster ini. Jangan salahkan mereka, sebab ini merupakan fenomena atau gejala yang terjadi diklaster ini.

Jangan juga anggap mereka tidak gaul, tidak moderat ataupun tidak paham. Sekali lagi jangan pernah berfikiran semacam itu, karena mereka middle class muslim adalah kalangan terdidik, rata - rata mereka sarjana dan berasal dari kampus umum bukan kampus Islam.

Jadi kalau Anda menilai mereka tidak paham soal universalitas Islam, Islam moderat apalagi soal filosofi sebuah kata - kata, itu kesalahan fatal yang bisa berakibat buruk pada brand Anda. 

Tak hanya berpendidikan, mereka juga memiliki ekonomi yang relatif stabil dan paling penting adalah mereka memiliki banyak pertimbangan untuk memutuskan membeli sesuatu.

Ketika mereka berada di posisi need atau membutuhkan maka mereka tidak akan semena - mena membelinya, tetapi mereka akan korelasikan dengan want atau keinginan mereka.

Contoh riilnya begini, ketika mereka membutuhkan sebuah produk, itu berarti posisi mereka berada pada need atau membutuhkan. Namun, mereka akan melakukan seleksi mana brand yang sesuai dengan apa yang mereka inginkan (want).

Pada posisi inilah mereka akan mempertimbangkan banyak hal, diantaranya simbol Agama yang ada pada brand tersebut terutama yang dipakai oleh brand tersebut sebagai sarana komunikasi pemasaran, baik melalui iklan, copy writer, desain ataupun video.

Perlu saya ingatkan lagi bahwa simbol Agam tak melulu ayat suci, tetapi bisa berbentuk endorser, copy writer atau konten iklan, komunikasi visual berupa video dan advertising bahkan quotes tokoh yang Anda kaitkan dengan brand Anda sekalipun akan menjadi perhatian mereka.

Konten komunikasi pemasaran brand Anda akan menjadi perhatian klaster ini. Singkatnya, meskipun mereka membutuhkan sebuah produk maka mereka akan melihat akurasi dan sejauhmana brand Anda menghargai dan sesuai dengan syariah sebagaiamana para kelas menengah yakini kebenarannya. 

Jika ada konten komunikasi pemasaran yang dinilai tidak tepat maka saya pastikan mereka akan mencari brand lain yang dinilai lebih sesuai dengan karakter mereka.

Sekali lagi, inilah fenomena yang sudah diriset enam tahun lalu oleh Yuswohady dalam bukunya Marketing of the Middle Class Muslim. Dan sekarang riset itu benar - benar teruji. 

Brand Anda bukan cuma tidak akan dibeli, melainkan akan dihakimi oleh klaster ini maka hati - hatilah ketika brand Anda memang membidik kelas ini. 

Pahami karakter mereka, jika tidak, siap - siaplah brand Anda akan ditinggalkan tanpa beban dan mendapat penghakiman yang cukup keras.

Memang dalam riset itu, Yuswohady hanya mencontohkan produk komersial, tetapi belakangan ini juga menyasar produk non komersial, seperti lembaga sosial, partai politik bahkan personality seseorang.


Studi Kasus Rabbani dan Yusuf Mansur
Beberapa bulan lalu, komunikasi pemasaran Rabbani melalui iklan outdoor yaitu baliho menjadi kontroversial dan dihakimi klaster ini. Gara - garanya salah menempatkan konten iklan dalam billboard tersebut.

Dalam billoboard tersebut tertulis "Qurban itu Ga Wajib, Yang Wajib Tuh Berhijab". Coba Anda perhatikan konten iklan di atas. 

Secara substansi tidak salah, tetapi orang MarComm Rabbani lupa bahwa target market mereka adalah kelas menengah muslim dengan tingkat loyalitas yang berbeda maka pilihan konten iklan itu jelas memiliki risiko tinggi.

Akhirnya apa, iklan itu dihakimi secara sadis di sosial media. Saya tidak tahu apakah pasca peristiwa itu ada penurunan omset atau tidak, tetapi kalau pun tidak konten iklan itu jelas akan menjadi catatan negatif bagi klaster ini.

Pada kasus brand personality menimpa Yusuf Mansur. Gara - garanya puteri Yusuf Mansur yaitu Wirda Mansur kedapatan menjadi pemeran utama film The Santri. 

Dalam tayangan ini Wirda melakukan beberapa adegan yang kontroversial dan ini mengarah pada personal brand Yusuf Mansur.

Lagi - lagi klaster ini pun langsung menghakimi dan kita tidak bisa menyalahkan mereka karena ini memang fenomena middle class muslim di Indonesia. 

Dan ini bisa menimpa brand apapun, terutama brand yang memang dari awal mengambil positioning dengan target market kelas menengah muslim.